Menjadi Orator Bil Hikmah
Oleh : Faqih Mansur Hidayat*
Suatu pagi smartphone saya berdering berkali-kali. Saking banyaknya pemberitahuan dari salah satu group whatsapp yang saya ikuti, deringnya semakin tak beraturan. Rupanya, beberapa anggota group tersebut sedang diskusi soal teknik public speaking. Mereka beberapa kali saya amati saling beradu argumen dan saling menguatkan dirinya masing-masing.
Suatu pagi smartphone saya berdering berkali-kali. Saking banyaknya pemberitahuan dari salah satu group whatsapp yang saya ikuti, deringnya semakin tak beraturan. Rupanya, beberapa anggota group tersebut sedang diskusi soal teknik public speaking. Mereka beberapa kali saya amati saling beradu argumen dan saling menguatkan dirinya masing-masing.
ORASI DALAM AIR. Karya ; mail |
”Kadang ya, orang yang pintar itu mempunyai kendala dalam komunikasi. Sehinga dia tidak bisa menjadi pentransfer ilmu yang baik. Tetapi, kebanyakan orang tidak mengerti dan malah disangka bahwa pelit ilmu,” ungkap salah satu anggota group yang menjadi pemantik diskusi hangat pada pagi itu.
Cukup panjang diskusi itu berlangsung. Saya hanya mengamati sembari menyantap menu sarapan nasi pecel dengan toping telur dadar dan segelas teh panas. Di tengah-tengah kesendirian saya bersarapan itu, ada salah satu anggota lain di group yang sama nyeletuk soal retorika. Dia terlihat begitu yakin dalam berargumen soal retorika. Meskipun sebenarnya dia sendiri paham atau tidak yang dia sampaikan itu.
Ketika saya menyecap teh panas, tiba-tiba saya teringat dengan mata pelajaran retorika yang diajarkan salah satu guru sewaktu masih di bangku kelas X Madrasah Aliyah. Saat itu, pertama kali saya mengenal retorika.
Sejarah retorika pada masa Yunani lahir sebagai seni yang dipelajari dan ada sejak abad 5 SM. Yaitu ketika Kaum Sophis Yunani mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan pengetahuan tentang politik dengan penekanan terutama pada kemampuan berpidato. Pada waktu itu, retorika memiliki beberapa fungsi (Sunarjo, 1983:55). Pertama, untuk mencapai kebenaran atau kemenangan bagi suatu pihak. Kedua, untuk meraih kekuasaan. Ketiga, sebagai alat persuasi yang digunakan untuk mempengaruhi orang lain.
Saya masih ingat, saat itu kami diharuskan untuk menghafal tokoh-tokoh retorika pada masa Yunani. Mereka adalaha Georgias (guru retorika pertama), Protagoras, Sokrates, Isokrates, Plato, Aristoteles, Corax, dan Demosthenes. Setiap dari mereka mempunyai ciri khas masing-masing, baik secara metode maupun alirannya.
Dari sekian tokoh tersebut, Demosthenes adalah yang paling saya ingat hingga saat ini. Kisahnya sangat menarik. Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, dia menggabungkan narasi dan argumentasi. Dia juga amat memperhatikan cara penyampaian. Menurut Will Durant, Penulis Buku The Story of Civilization, “Ia (Demosthenes) meletakan rahasia pidato pada akting (hypocricis).”
Demosthenes berlatih pidato sendirian di depan cermin. Bahkan, dia membuat gua dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, dia mencukur rambutnya sebelah, supaya dia tidak berani keluar dari persembunyiannya karena akan diejek orang lain. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir. Dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit. Cara yang ditempuhnya itu ternyata mampu membuatnya menjadi orator ulung, saat itu.
Saya juga teringat dengan orator-orator Indonesia yang tak kalah sangarnya. Ada dua tokoh Indonesia yang sangat saya idolakan. Pertama, Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam. Selain unggul dalam dunia perdagangan, dia juga unggul dalam beretorika.
Dia mampu melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak untuk bergabung dengan Sarekat Islam. Dalam Film Guru Bangsa, sosok H.O.S Tjokroaminoto yang diperankan oleh Reza Rahadian, ketika berpidato hampir seluruh audien terpukau dengan orasi-orasi yang dipersembahkan.
Kedua, yaitu Ir. Soekarno. Founding father’s bangsa Indonesia yang merupakan murid H.O.S Tjokroaminoto itu nampaknya memang dipersiapkan untuk meneruskan pergerakan dan perjuangannya meraih kemerdekaan. ”Indonesia Menggugat” salah satu pidato Bung Karno yang sangat fenomenal. Pidato pembelaan yang dibacakan Bung Karno pada persidangan Landrad, Bandung (1930). Bung Karno bersama tiga rekannya yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Saat itu, mereka dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda. Dari balik jeruji penjara, Bung Karno menyusun dan menulis sendiri naskah pidatonya. Sebuah pidato yang berisi tentang keadaan politik Internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah. Pidato pembelaan ini lah yang kemudian menjadi satu dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme.
Saya juga ingat, beberapa hari lalu, saat mengikuti maiyyahan bersama Cak Nun, dan diingatkan supaya mampu berdakwah atau berorasi secara bijak. Sebagaimana dalam Al-Qur’an “‘ud’u ila sabili rabbika bilhikmati walmauidlotil hasanati wa jaadilhummbillati hiya ahsan” (Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah dengan cara yang lebih baik,” An- Nahl; 125).
Untuk menjadi orator ataupun public speaker yang baik, alangkah baiknya teman-teman yang di group tersebut meniru metode beberapa tokoh di atas. Metode Demosthenes nampaknya dapat kita adopsi, yaitu berlatih dan mematangkan kompetensi diri secara mandiri tanpa perlu diketahui orang lain. Memperbanyak ilmu melalui bacaan-bacaan seperti Bung Karno dalam pengasingan juga bisa kita tiru.
Dengan ilmu yang telah kita miliki, dengan sendirinya kita akan mampu menebar kebaikan di mana-mana. Janganlah melampaui batas ketika sedang berada diatas panggung atau podium. Saat ini, rakyat butuh orang-orang yang bisa menebar kebaikan lewat panggung-panggung dakwah. Bukannya malah membusungkan dada lebar-lebar sambil berteriak lantang, Takbir!!! Saja.
Keilmuan yang kita miliki tidak sepatutnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan negatif yang terselubung. Berdakwah dengan cara hikmah (bijaksana) bukanlah dakwah yang berisi profokasi-profokasi yang berpotensi memecah belah bangsa. Melainkan, berdakwah dengan tujuan menyejukkan semua golongan. Serta menebar pesan-pesan toleransi dalam bernegara. Wis ah, wis bar sarapanku. hehe[]
*Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus Semester 5)
Komentar
Posting Komentar